NIKAH DAN
PERMASALAHANNYA
1. Pengertian nikah
Istilah
nikah diambil dari bahasa Arab, yaitu nakaha – yankihu – nikahan yang
mengandung arti nikah atau kawin.[1]
Di dalam kitab I’anah atthalibin, Muhammad Syata ad-Dimyati menjelaskan
bahwa nikah menurut bahasa ialah :
النكاح
لغة : الضم والجمع[2]
Artinya
: “Nikah menurut bahasa ialah
berhimpun atau berkumpul”.
Sementara itu, Abdurrahman al-Jaziri
di dalam kitabnya, Al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah mengemukakan bahwa
nikah secara bahasa ialah :
النكاح لغة : الوطء و الضم[3]
Artinya
:“Nikah menurut bahasa artinya wath’I
(hubungan seksual) dan berhimpun).”
Ibn
Qasim al-Ghaza, dalam kitabnya al-Bajuri mengemukakan bahwa nikah
menurut bahasa adalah :
النكاح يطلق لغة : على الضم و
الوطء و العقد[4]
Artinya
:“Nikah menurut bahasa ialah berhimpun,
wath’i atau akad.”
Selain ketiga defenisi yang
dikemukakan diatas, masih banyak lagi pengertian nikah secara bahasa yang
dijelaskan para ulama, namun kesemuanya itu bermuara dari satu makna yang sama
yaitu bersetubuh, berkumpul dan akad.
Kemudian secara istilah (syara’)
nikah dapat didefenisikan sebagaimana yang dijelaskan oleh imam Jalaluddin
al-Mahalli dalam kitabnya al-Mahalli.
وشرعا : عقد يتضمن اباحة وطئ
بلفظ انكاح او تزويج[5]
Artinya
:“Nikah menurut syara’ (istilah) ialah
suatu akad yang membolehkan wath’i (hubungan seksual) dengan menggunakan lafaz
inkah atau tazwij.”
Sementara itu, menurut imam Syafi’i
pengertian nikah secara syara’ ialah :
قد يتضمن ملك وطئ بلفظ انكاح
او تزويج او معناهما[6]
Artinya
: “adakalanya suatu akad yang mencakup
kepemilikan terhadap wath’i dengan lafaz
inkah atau tazwij atau dengan menggunakan lafaz yang semakna dengan keduanya.”
Kemudian menurut imam Hanbali
pengertian nikah secara syara’ ialah :
عقد بلفظ انكاح او تزويج على
منفعة الا ستمتاع[7]
Artinya
:“suatu akad yang dilakukan dengan
menggunakan lafaz inkah atau tazwij untuk mengambil manfaat kenikmatan
(kesenangan)”.
Berdasarkan
uraian diatas, jelaslah terlihat bahwa pengertian nikah menurut istilah
(syara’) yang dikemukakan oleh para ulama bermuara pada satu konteks akad yang
menghalalkan hubungan biologis.Hal ini mengingat yang menyebabkan laki-laki dan
perempuan tertarik untuk menjalin hubungan adalah salah satunya karena adanya
dorongan-dorongan yang bersifat biologis.
Di
dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), pernikahan itu didefenisikan sebagai salah
satu akad yang sangat kuat atau mitsqan galidzhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kemudian pernikahan itu mempunyai tujuan yang sangat mulia yaitu
untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.[8]
2. Rukun dan Syarat Nikah
Dalam menentukan sahnya suatu pernikahan, maka haruslah
terpenuhi rukun dan syarat sahnya. Menurut hemat penulis rukun adalah “ sesuatu
yang harus ada pada sesuatu, tidak sah sesuatu jika tidak ada sesuatu itu “.
Sedangkan syarat menurut hemat penulis adalah “sesuatu yang harus ada sebelum
melakukan sesuatu, tidak sah sesuatu jika tidak ada sesuatu itu”.
Dalam
Fiqh, disebutkan bahwa rukun nikah terbagi lima dan ini juga sebagaimana yang
telah disepakati jumhur ulama, tidak ada khilaf padanya, yaitu :
1.
Calon suami
2.
Calon isteri
3.
Wali nikah
4.
Dua orang saksi
5.
Ijab dan qabul[9]
Dari
kelima rukun nikah yang disebutkan di atas, secara umum pada setiap rukunnya
terdapat syarat yang harus dipenuhi dan untuk lebih jelasnya berikut diuraikan
syarat-syaratnya :
1.
Calon suami dan syarat-syaratnya.
Dalam
kitab I’anatutthalibin, disebutkan bahwa persyaratan calon suami dalam
pernikahan adalah :
وشرط فى الزوج تعيين وعدم
محرمة[10]
Artinya
: “Dan disyaratkan bagi calon suami
ialah orangnya tertentu (jelas) dan tidak ada halangan karena mahram”.
Secara
umum syarat-syarat bagi calon suami untuk melangsungkan pernikahan adalah
sebagai berikut :
a.
Beragama islam
b.
Laki-laki
c.
Jelas orangnya
d.
Calon suami ridha
e.
Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
f.
Calon suami itu tahu dan kenal kepada calon isteri
g.
Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan calon
isteri, dan
h.
Tidak sedang mempunyai isteri empat.[11]
Salah
satu yang menjadi syarat bagi calon suami adalah ia harus islam, karena suami
merupakan kepala rumah tangga sekaligus orang yang wajib memberikan nafkah.
Suami berkewajiban mendidik dan memelihara isteri dan anak-anaknya sehingga
terciptalah keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.
Kemudian
keharaman bagi calon suami untuk melakukan pernikahan selain yang sedang ihram
atau umrah, ada beberapa hal lagi yang haram atas pernikahan. Di dalam kitab al-Asybahu
wa al-Nadzair , imam Jalaluddin as-Suyuthi menjelaskan :
يحرم
من الرضاع ما يحرم من النسب إلا أربعة أم مرضعة ولدك وبنتها ومرضعة أخيك وحفيدك.[12]
Artinya:
“haram bagi yang menyusui sebagaimana yang diharamkan karena hubungan nasab,
kecuali empat hal yaitu, ibu mu dan anak dari ibu susu anakmu ibu susu
saudaramu dan ibu susu dari cucumu.”
Selanjutnya
bagi calon suami disyaratkan juga bahwa ia tidak mempunyai isteri yang haram
dimadu. Disamping itu juga, tidak pula mempunyai isteri empat.Larangan seperti
ini termasuk pada wanita-wanita yang haram dinikahi yang sifatnya sementara.
2.
Calon isteri dan syarat-syaratnya
Syarat-syarat calon isteri adalah sebagai berikut :
a.
Calon isteri atau perempuan yang akan dinikahi tidak kosong
oleh suatu pernikahan
b.
Tidak ber-‘iddah
c.
Orangnya jelas.
Secara
umum persyaratan bagi seorang calon isteri yang akan dinikahi oleh seorang
laki-laki adalah sebagai berikut :
a.
Beragama islam atau ahli kitab
b.
Terang wanitanya
c.
Tidak dalam masa iddah
d.
Tidak haram dinikahi.[13]
Sementara
itu dalam pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pernikahan didasarkan
ata persetujuan calon mempelai[14]dan
dalam pasal 17 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa bila ternyata
pernikahan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai, maka pernikahan
itu tidak dapat dilangsungkan.
3.
Wali dan syarat-syaratnya
Wali
adalah orang yang mempunyai hak untuk melangsungkan pernikahan perempuan yang
berada dibawah perwaliannya. Dalam Kompilasi Hukum Islam wali nikah yang
merupakan rukun dalam pernikahan dibagi dua yaitu : wali nasab dan wali hakim.[15]
Wali nasab adalah orang-orang yang berhak menjadi wali dari keluarga calon
mempelai wanita yang terdiri dari empat kelompok , dalam urutan kedudukan
kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai dengan erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Sementara itu yang
dimaksud dengan wali hakim ialah orang yang diangkat oleh pemerintah untuk
bertindak sebagai wali dalam pernikahan.Akan tetapi wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya
atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau ‘adzhal atau enggan.[16]
Adapun
persyaratan-persyaratan tersebut sebagai berikut :
a.
Islam
b.
Baligh dan berakal
c.
Mempunyai hak perwalian
d.
Laki-laki.
4.
Saksi nikah dan syarat-syaratnya
Adapun
persyaratan-persyaratannya adalah sebagai berikut :
a.
Laki-laki
b.
Islam
c.
Adil
d.
Baligh dan berakal
e.
Tidak terganggu ingatannya
f.
Tidak tuna rungu atau tuli.
5.
Ijab dan qabul serta syarat-syaratnya
a.
Adanya pernyataan mengawinkan
b.
Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
c.
Memakai kata-kata nikah, tajwiz atau terjemahan dari kedua
kata tersebut
d.
Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
e.
Harus diucapkan dalam satu majelis.[17]
3. Hukum Nikah
- Mubah
Ini
adalah asal hukum dari nikah
- Sunnat
Hukum
ini berlaku pada seseorang terutama laki-laki yang sudah berkeinginan untuk
jima’ serta telah mampu untuk menikah. Mampu disini adalah bahwa ia mampu untuk
member mahar yang layak, menafkahi isterinya dengan makan, minum dan kebutuhan
sehari-hari yang lain dengan cukup, membelikan pakaian, member rumah
sekemampuannya dan mampu secara fisik untuk melakukan jima’.
- Wajib
Nikah
hukumnya bisa berubah menjadi wajib apabila seseorang sudah berkeinginan untuk
jima’ dan jika tidak segera dilangsungkan pernikahan maka dikhawatirkan akan
terjerumus kedalam perzinahan.
- Makruh
Hukum
nikah berlaku makruh apabila seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk
menikah serta tidak memiliki kecenderungan untuk jatuh kepada perbuatan zina.
Walaupun secara fisik.
- Haram
Apabila
niat salah satu pihak atau pihak ketiga yang menikahkan atau memaksa untuk
menikah cenderung pada upaya untuk mencelakakan atau menzholimi pasangannya.[18]
Dari
uraian diatas, kita bisa melihat kelayakan seorang untuk menikah atau tidak
berdasarkan hukum agama tidaklah semata-mata didasari oleh usia, harta dan
kemampuan fisik semata, tetapi juga dilihat dari kesiapan mental berupa
keinginan penuh dan keridhoan dirinya beserta pasangannya untuk menikah, bahkan
hal inilah yang dianggap lebih utama karena hubungan pernikahan bukanlah
semata-mata didasari oleh hubungan fisik dan materi, tetapi juga emosi dan
mental yang mendalam.
Kehidupan
perkawinan memegang peranan yang sangat besar dibandingkan hanya dengan
kematangan fisik dan kecukupan harta.Kalaupun dipaksakan maka perkawinan itu
memiliki kecenderungan menimbulkan mudharat padahal tujuan utama pernikahan
adalah mencapai kemashlahatan, kebahagiaan dan ketenteraman.
4. Tujuan Pernikahan
Adapaun
tujuan moral dari pernikahan adalah untuk melakukan pengabdian kepada Tuhan
dengan sebaik-baiknya dan dengan pengabdian ini diharapkan adanya intervensi
dalam kehidupan berkeluarga yang akhirnya akan melahirkan generasi-generasi
yang taat dan shalih. Sakralnya tujuan yang terkandung dalam pernikahan
menunjukkan bahwa pernikahan bukanlah sekedar uji coba yang bilamana tidak
mampu melanjutkannya dan dapat diberhentikan dengan seketika yang seolah-olah
perceraian adalah sesuatu yang lumrah. Banyaknya terdapat persepsi seperti ini
menunjukkan bahwa masyarakat masih memandang bahwa pernikahan hanya merupakan
persoalan biologis semata.
Berdasarkan
tujuan inilah maka menghadapi pernikahan harus dilakukan dengan kematangan baik
kematangan dari segi material terlebih lagi dari segi moral. Dengan kata lain
mendapatkan kedewasaan sebelum menikah lebih baik daripada mendapatkannya
sesudah menikah. Urgensi kematangan sebelum menikah ditandai dengan
proses-proses yang harus dilalui secara berurutan seperti menanya, meminang,
nikah gantung dan nikah sebenarnya.Hal ini dilakukan supaya calon suami isteri
benar-benar matang dalam mangayuhkan rumah tangganya karena proses-proses yang
disebutkan tadi masih memberikan peluang untuk mengundurkan diri dari
pernikahan sebelum sampai kepada pernikahan yang sebenarnya karena pengunduran
diri (cerai) pasca pernikahan yang sebenarnya dapat menimbulkan korban beberapa
pihak seperti keluarga dan anak-anaknya.Anjuran pernikahan dalam al-Qur’an
adalah anjuran yang penuh dengan persyaratan sehingga tujuan-tujuan dari
pernikahan disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an sekalipun sifatnya masih global.
Tujuan-tujuan pernikahan inilah yang seharusnya dijadikan bahan evaluasi baik
dari orang tua calon maupun calon itu sendiri untuk menentukan kadar
kemampuannya dalam menghadapi pernikahan.
Tujuan-tujuan
pernikahan sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah untuk mendapatkan
surga dan ampunan Tuhan, untuk menjalankan hukum-hukum Tuhan dan mendapatkan
karunia Tuhan Q.S. al-Ruum :21
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Artinya
: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.”[19]
Adapun tujuan-tujuan yang lain
seperti mengembangkan keturunan dan menyalurkan kebutuhan biologis adalah
tujuan yang paling asasi dan sekiranya al-Qur’an tidak menyebutkannya maka
dipastikan bahwa tujuan yang seperti ini sudah lumrah berlaku. Tujuan dari
pernikahan adalah untuk mendapatkan surga dan keampunan Tuhan sekalipun
pernyataan ini tidak secara langsung ditegaskan dalam al-Qur’an. Kemudian
tujuan pernikahan selanjutnya adalah untuk menegakkan hukum-hukum Allah karena
lebih efektif mengakkannya dengan berteman daripada sendirian.[20]
Menegakkan hukum-hukum Allah dalam
kehidupan rumah tangga adalah tanggung jawab bersama suami isteri dan
masing-masing pihak seyogianya memberikan kontrol terhadap pasangan
masing-masing. Oleh karena itu, salah satu pihak dianggap zhalim bilamana
mendiamkan pasangannya melanggar ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan oleh
Allah.
[1]
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1990), h. 467.
[2] Muhammad Syata ad-Dimyati,I’anah
atthalibin,Juz III (Bandung: al-Ma’arif, tt.) , h. 254.
[3] ‘Abdurrahman al-Jaziri,Al-Fiqh
‘ala Mazahibil Arba’ah, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr,tt.) , h. 1.
[4] Ibn Qasim al-Ghaza, Hasyiah
al-Bajuri, juz II (Semarang : Riyadh Putra) , h. 90.
[5]Jalaluddin
al-Mahalli, Al-Mahalli,juz III (Indonesia: Nur Asia, tt), h. 206.
[8]Departemen
Agama RI,Kompilasi Hukum Islam (Surabaya: Karya Anda,tt.), h. 19.
[9]
Muhammad Hasbi ash
–Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1991), h. 246.
[10]Al-Dimyati,I’anah
atthalibin, h. 296.
[11]
Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh, jilid II (Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi IAIN, 1984), h. 50.
[12]
Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr as-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nadzair,
(Semarang: Toha Putra), h. 267.
[13] Departemen Agama RI, Ilmu Fiqh,
h. 851.
[14]Bila pernikahan berdasarkan
persetujuan calon mempelai tentunya hal itu mengenyampingkan kekuasaan waali
mujbir, padahal wali mujbir berhak menikahkan anak wanitanya tanpa meminta izin
dan rida darinya. Adapun wali terbagi dua, yaitu : wali mujbir dan wali tidak
mujbir. Wali mujbir adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan untuk menikahkan
seorang yang berada dibawah kuasa kewaliannya, yaitu : ayah atau ayah dari ayah
(kakek). Lihat Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahibil Arba’ah, juz IV, h. 24.
[15]Departemen
Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 27.
[17]Ahmad
Rapiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1998), h. 72.
[19]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 1112.